KONSEP DASAR FILSAFAT PENDIDIKAN
A. Konsep Filsafat Pendidikan
1. Pengertian Pendidikan
George F. Kneller (Dwi Siswoyo, 1995: 5) mengatakan pendidikan dapat
dipandang dalam arti luas dan teknis, atau dalam arti hasil dan dalam arti
proses. Dalam arti yang luas, pendidikan menunjuk pada suatu tindakan atau
pengalaman yang mempunyai pengaruh berhubungan dengan pertumbuhan atau
perkembangan pikiran (mind), watak (character), atau kemampuan fisik
(physical ability) individu. Pendidikan dalam artian ini berlangsung terus seumur
hidup.
Dalam arti teknis, pendidikan adalah proses yang terjadi di dalam
masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi,
atau lembaga-lembaga lain), yang dengan sengaja mentransformasi warisan
budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilan-ketrampilan dari
generasi ke generasi. Sedangkan dalam arti hasil, pendidikan adalah apa yang
diperoleh melalui belajar, baik berupa pengetahuan, nilai-nilai maupun
keterampilan-keterampilan. Sebagai suatu proses, pendidikan melibatkan
perbuatan belajar itu sendiri; dalam hal ini pendidikan sama artinya dengan
perbuatan mendidik seseorang atau mendidik diri sendiri.
2. Berbagai Pengertian Filsafat Pendidikan
Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli mengenai filsafat
pendidikan. Kneller (1971: 4) mengatakan sebagai berikut:
Just a formal philosophy attemps to understand reality as a whole by
explaining it in the most general and systematic way, so educational
philosophy seeks to comprehend educationin its entirely, interpreting it by
means of generals concept that will guide our choice of educational ends
and policies. In the same way that general philosophy coordinates the
findings of the different sciences, educational philosophy interprets these
findings as they bear on education. Scientific theories do not carry direct
educational implication; they cannot be applied to educational practice
without first being examined philosophically.
Dari pendapat Kneller tersebut dapat dipahami bahwa filsafat dalam arti
formal berusaha untuk memahami kenyataan sebagai suatu keseluruhan dengan
menjelaskannya sedemikian rupa secara umum dan sistematis. Pernyataan
Kneller sejalan dengan pendapat Ahmad Tafsir (2010: 5) yang mengatakan
bahwa objek yang diteliti filsafat ialah objek yang abstrak; paradigma yang
mendasari penelitiannya ialah paradigma rasional; metode penelitiannya disebut
metode rasional.
Demikian pula halnya dengan filsafat pendidikan yang berusaha untuk
memahami pendidikan secara lebih mendalam, menafsirkannya dengan
menggunakan konsep-konsep umum yang dapat menjadi petunjuk atau arah bagi
tujuan-tujuan dan kebijakan pendidikan. Dengan cara yang sama, filsafat umum
mengkoordinasikan temuan-temuan dari berbagai cabang ilmu, dan filsafat
pendidikan menafsirkan temuan-temuan ini untuk digunakan dalam bidang
pendidikan. Teori-teori ilmiah tidak memiliki implikasi langsung dalam
pendidikan; teori-teori ini tidak dapat langsung diterapkan dalam praktik
pendidikan tanpa terlebih dahulu diuji secara filsafati (Kneller, 1971: 5). Teori
filsafat pendidikan ialah teori rasional tentang pendidikan. Teori tersebut tidak
20
pernah dapat dibuktikan secara empiris. Di samping teori filsafat pendidikan,
ada pula teori ilmu pendidikan. Teori ini adalah teori rasional dan ada bukti
empiris tentang pendidikan (Tafsir, 2010: 6).
3. Hubungan Filsafat dan Pendidikan
Filsafat mempunyai hubungan yang erat dengan pendidikan, baik
pendidikan dalam arti teoritis maupun praktik. Setiap teori pendidikan selalu
didasari oleh suatu sistem filsafat tertentu yang menjadi landasannya. Demikian
pula, semua praktik pendidikan yang diupayakan dengan sungguh-sungguh
sebenarnya dilandasi oleh suatu pemikiran filsafati yang menjadi ideologi
pendorongnya. Pemikiran filsafati tersebut berusaha untuk diwujudkan dalam
praktik pendidikan. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Imam
Barnadib bahwa filsafat pendidikan pada dasarnya merupakan penerapan suatu
analisis filosofis terhadap lapangan pendidikan. John Dewey, seorang filsuf
Amerika yang sangat terkemuka mengatakan bahwa filsafat merupakan teori
umum dari pendidikan, landasan dari semua pemikiran mengenai pendidikan
(Barnadib, 1994: 4).
Selanjutnya, Imam Barnadib mengatakan bahwa hubungan filsafat dan
pendidikan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Hubungan keharusan
Berfilsafat berarti mencari nilai-nilai ideal (cita-cita) yang lebih baik,
sedangkan pendidikan mengaktualisasikan nilai-nilai ini dalam kehidupan
manusia. Pendidikan bertindak mencari arah yang terbaik, dengan berbekal
teori-teori pendidikan yg diberikan antara lain oleh pemikiran filsafat .
2. Dasar pendidikan
Filsafat mengadakan tinjauan yang luas terhadap realita termasuk
manusia, maka dibahaslah antara lain pandangan dunia dan pandangan hidup. Konsep-konsep ini selanjutnya menjadi dasar atau landasan penyusunan
tujuan dan metodologi pendidikan. Sebaliknya pengalaman pendidik dalam
realita menjadi masukan dan pertimbangan bagi filsafat utk mengembangkan
pemikiran pendidikan. Filsafat memberi dasar-dasar dan nilai-nilai yang
sifatnya das Sollen (yang seharusnya), sedangkan praksis pendidikan
berusaha mengimplementasikan dasar-dasar tersebut, tetapi juga memberi
masukan dari realita terhadap pemikiran ideal pendidikan dan manusia. Jadi,
ada hubungan timbal balik di antara keduanya.
4. Manfaat Belajar Filsafat Pendidikan
Mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di lembaga pendidikan tenaga
keguruan dituntut untuk memikirkan masalah-masalah hakiki terkait pendidikan.
Pemikiran mahasiswa menjadi lebih terasah terhadap persoalan-persoalan
pendidikan baik dalam lingkup mikro maupun makro. Hal ini menjadikan
mahasiswa lebih kritis dalam memandang persoalan pendidikan.
Di samping itu, mahasiswa yang mempelajari dan merenungkan masalahmasalah hakiki pendidikan akan memperluas cakrawala berpikir mereka
sehingga dapat lebih arif dalam memahami problem pendidikan Sebagai
intelektual muda yang kelak menjadi pendidik atau tenaga kependidikan sudah
sewajarnya bila mereka dituntut untuk berpikir reflektif dan bukan sekedar
berpikir teknis di dalam memecahkan problem-problem dasar kependidikan
dengan menggunakan kebebasan intelektual dan tanggung jawab sosial yang
melekat padanya.
B. Tiga Landasan Utama Filsafat Pendidikan
Filsafat memberikan asumsi-asumsi dasar bagi setiap cabang ilmu
pengetahuan. Demikian pula halnya dengan pendidikan. Ketika filsafat
membahas tentang ilmu alam, maka diperoleh filsafat ilmu alam. Ketika filsafat
mempertanyakan konsep dasar dari hukum, maka terciptalah filsafat hukum, dan
ketika filsafat mengkaji masalah-masalah dasar pendidikan, maka terciptalah
cabang filsafat yang bernama filsafat pendidikan (Kneller, 1971: 4) Jadi, setiap
bidang ilmu mempunyai landasan-landasan filsafat masing-masing.
Unsur-unsur esensial dalam landasan filsafat pendidikan ada tiga yang
utama, yaitu yaitu landasan ontologis, landasan epistemologis, dan landasan
aksiologis. Kesemua landasan tersebut akan dijelaskan pada sub bab berikut ini.
1. Landasan Ontologis Pendidikan
Landasan ontologis atau sering juga disebut landasan metafisik merupakan
landasan filsafat yang menunjuk pada keberadaan atau substansi sesuatu.
Misalnya, pendidikan secara ilmiah ditujukan untuk mensistematisasikan
konsep-konsep dan praktik pendidikan yang telah dikaji secara metodologis
menjadi suatu bentuk pengetahuan tersendiri yang disebut Ilmu Pendidikan.
Pengetahuan ilmiah mengenai pendidikan pada hakikatnya dilandasi oleh suatu
pemikiran filsafati mengenai manusia sebagai subjek dan objek pendidikan,
pandangan tentang alam semesta; tempat manusia hidup bersama, dan
pandangan tentang Tuhan sebagai pencipta manusia dan alam semesta tersebut.
Kneller (1971: 6) mengatakan bahwa metafisika adalah cabang filsafat
yang bersifat spekulatif, membahas hakikat kenyataan terdalam. Metafisika
mencari jawaban atas persoalan mendasar: Adakah alam semesta ini mempunyai
desain rasional atau hanya sesuatu yang tidak ada maknanya? Apakah pikiran itu
merupakan kenyataan dalam dirinya atau hanya sekedar sebentuk materi yang
bergerak? Apakah perilaku semua organisme telah ditentukan atau apakah ada
organisme, misalnya manusia, yang mempunyai ukuran kebebasan?
Dengan kemunculan ilmu-ilmu empiris, banyak orang meyakini bahwa
metafisika telah ketinggalan jaman. Temuan ilmu-ilmu empiris tampak lebih
dipercaya, sebab temuannya dapat diukur, sedangkan pemikiran metafisik
tampaknya tidak dapat diverifikasi dan tidak bersifat aplikatif. Metafisika dan
ilmu-ilmu empiris seolah merupakan dua bidang kegiatan yang berbeda.
Sebenarnya, ilmu-ilmu empiris mendasarkan diri pada asumsi-asumsi
metafisik, tetapi banyak orang yang tidak menyadarinya. Sebagaimana
dinyatakan oleh ahli fisika Max Planck bahwa gambaran dunia secara ilmiah
yang diperoleh dari pengalaman tetaplah selalu hanya suatu perkiraan saja;
suatu model yang lebih kurang. Oleh karena ada objek material di belakang
setiap sensasi inderawi, maka demikian pula ada kenyataan metafisik di
belakang segala sesuatu, yang menjadi nyata dalam pengalaman hidup manusia
(Kneller, 1971: 6).
Gutek (1988: 2) mengatakan bahwa metafisika berkaitan dengan
perumusan teori dan praktik pendidikan dalam berbagai hal. Subjek, pengalaman
dan keterampilan yang termuat di dalam kurikulum merefleksikan konsep
tentang kenyataan yang diyakini oleh suatu masyarakat yang menjadi pendukung
keberadaan sebuah sekolah. Gutek mengatakan: ”Much of formal schooling
represents the attempt of curriculum-makers, teachers, and textbook authors to
describe certain aspects of reality to students. For example, subjects such as
history, geography, chemistry, and so on, describe certain phases of reality to
students (Gutek, 1988: 2).
Persekolahan mewakili upaya dari pembuat kurikulum, guru-guru dan
pengarang buku-buku teks dalam menggambarkan aspek-aspek kenyataaan
kepada subjek didik. Contohnya, pelajaran sejarah, geografi, kimia dan lain-lain
menggambarkan fase tertentu dari kenyataaan kepada subjek didik.
2. Landasan Aksiologis Pendidikan
Aksiologi merupakan cabang filsafat yang membahas teori-teori nilai dan
berusaha menggambarkan apa yang dinamakan dengan kebaikan dan perilaku yang baik. Bagian dari aksiologi adalah etika dan estetika. Etika menunjuk pada
kajian filsafati tentang nilai-nilai moral dan perilaku manusia. Estetika berkaitan
dengan kajian nilai-nilai keindahan dan seni. Metafisika membahas tentang
hakikat kenyataan terdalam, sedangkan aksiologi menunjuk pada preskripsi
perilaku moral dan keindahan. Para pendidik selalu memperhatikan masalahmasalah yang berkaitan dengan pembentukan nilai-nilai dalam diri para subjek
didik dan mendorong ke arah perilaku yang bernilai (Gutek, 1988: 3).
Secara umum, setiap orang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang membentuk
perilakunya sepanjang hidup. Anak-anak secara terus-menerus diberitahu bahwa
mereka harus melakukan atau tidak boleh melakukan hal-hal tertentu, seperti
‖cuci tanganmu sebelum makan‖, ‖kamu tidak boleh memecahkan kaca
jendela‖, ‖kamu harus mencintai negerimu‖ yang kesemuanya itu merupakan
pernyataan nilai. Dalam proses menjadi dewasa, seorang individu menghadapi
benturan-benturan dalam upayanya untuk membentuk perilakunya menjadi
seperti yang diinginkan. Secara langsung, orang tua, guru dan masyarakat
memberikan hadiah dan hukuman apabila ada perilaku yang sesuai atau
menyimpang dari konsepsi tentang kebenaran, kebaikan atau keindahan. Dalam
kenyataannya, orang-orang modern, baik laki-laki maupun perempuan hidup di
dalam sebuah dunia yang nilai-nilainya saling bertentangan. Secara
internasional, nilai-nilai nasionalistik yang menjadi pola berbagai negara bangsa
membawa ke arah konflik dan perang. Di dalam negeri, ada pertentangan nilai
antar-kelas atau kelompok. Secara tradisional, sistem nilai telah dikodifikasi dan
diritualkan di dalam prinsip-prinsip etika dari berbagai macam agama besar
(Gutek, 1988: 3).
C. Landasan Epistemologis Pendidikan
Epistemologi adalah cabang filsafat yang disebut juga teori mengetahui
dan pengetahuan. Epistemologi sangat penting bagi para pendidik. Epistemologi
membahas konsep dasar dan sangat umum dari proses mengetahui, sehingga erat
kaitannya dengan metode pengajaran dan pembelajaran. Sebagai contoh, seorang yang berpaham idealisme berpegang pada keyakinan bahwa proses mengetahui
atau proses kognitif sesungguhnya adalah proses memanggil kembali ide-ide
yang telah ada dan bersifat laten dalam pikiran manusia. Metode pembelajaran
yang tepat adalah dialog Socrates. Dengan metode ini, guru berusaha
menstimulasi atau membawa ide-ide laten ke dalam kesadaran subjek didik
dengan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada munculnya
ide-ide tersebut dalam dialog.
Kaum realis berpandangan bahwa pengetahuan berasal dalam sensasi
inderawi yang objeknya terdapat atau merupakan bagian dari lingkungan hidup
manusia. Dari sensasi inilah kemudian muncul konsep-konsep dalam diri
manusia. Melalui proses abstraksi data sensoris, seseorang membangun konsep
yang berkesesuaian dengan objek-objek dalam kenyataan. Seorang guru dari
paham realis yang mendasarkan metode pengajarannya pada formula abstraksi
sensari inderawi dapat mengembangkan serangkaian metode demonstrasi kelas
untuk menjelaskan fenomena alamiah kepada subjek didik.
Sebaliknya, bagi kaum pragmatis yang berpegang pada filsafat bahwa
manusia dapat menciptakan pengetahuan dengan bertindak dan saling-tindak
dengan lingkungannya dalam sebuah rangkaian episode pemecahan masalah
(problem solving) sehingga metode pemecahan masalah dipandang sebagai
metode yang memadai dalam pembelajaran menurut pandangan kaum pragmatis
(Gutek, 1988: 3).
Dalam kaitannya dengan pendidikan, Kneller (1971: 18-19) mengatakan
bahwa dipandang dari sudut pandang guru, satu hal yang sangat jelas dan
penting dalam kajian epistemologi adalah adanya jenis-jenis pengetahuan yang
berbeda. Jenis-jenis pengetahuan tersebut adalah pengetahuan wahyu,
pengetahuan intuitif (intuisi), pengetahuan rasional, pengetahuan empiris,
pengetahuan otoritatif.
DAFTAR PUSTAKA
Gutek, Gerald L. (1988). Philosophical and ideological perspectives on education.
New Jersey: Prentice Hall Inc.
Kneller, George F. (1971). Introduction to the philosophy of education. New York:
John Wiley & Sons, Inc.
Imam Barnadib. (1996). Filsafat Pendidikan – Sistem dan Metode. Yogyakarta:
AndiOffset.
Komentar
Posting Komentar