PERKEMBANGAN INTELEK


1. Pengertian Intelek
Istilah intelek berasal dari bahasa Inggris intellect yang menurut Chaplin (1981) diartikan sebagai:
1. Proses kognitif, proses berpikir, daya menghubungkan, kemampuan
menilai, dan kemampuan mempertimbangkan;
2. Kemampuan mental atau itelegensi.

Gambar terkait

Menurut Mahfudin Shalahudin (1989) dinyatakan bahwa “intelek” adalah akal budi atau inteligensi yang berate kemampuan untuk meletakkan hubungan dari rposes berfikir. Selanjutnya, dikatakan bahwa orang yang intelligent adalah orang yang dapat menyelesaikan persoalan dalam waktu yang lebih singkat, memahami masalahnya lebih cepat dan cermat, serta mampu bertindak cepat.

Istilah inteligensi, semula berasal dari bahasa Latin intelligere yang berarti menghubungan atau menyatukan sama lain (Bimo Waalgito, 1981). Menurut William Stern, salah seorang pelopor dalam penelitian inteligensi, menyatakan inteligensi adalah kemampuan untuk menggunakan secara tepat alat-alat bantu dan pikiran guna dan pikiran guna menyesuaikan diri terhadap tuntutan-tuntutan baru (Kartini Kartono, 1984). Sedangkan Leis Hedison Terman berpendapat bahwa inteligensi adalah kesanggupan untuk belajar secara abstrak (Patty F, 1981). Di sini Terman membedakan antara concrete ability yaitu kemampuan yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat konkret abstract ability, yaitu kemampuan yang bersifat abstrak. Orang dikatakan inteligen, menurut Terman, jika orang tersebut mampu berpikir abstrak dengan baik.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian intelek tidak berbeda dengan pengertian inteligensi yang memiliki arti kemampuan untuk melakukan abstraksi,serta berpikir logis dan cepat sehingga dapat bergerak dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru.
Jean Piaget mendefenisikan intellect adalah akal budi berdasarkan aspek-aspek kognitifnya, khususnya proses berpikir yang lebih tinggi (Bybee dan Sund, 1982). Sedangkan intelligence atau inteligensi menurut Jean Piaget diartikan sama dengan kecerdasan yaitu seluruh kemampuan berpikir dan bertindak secara adaptif, termasuk kemampuan mental yang kompleks seperti berpikir, mempertimbangkan, menganalisis, mensintesis, mengevaluasi dan menyelesaikan persoalan-persoalan. Jean Piaget mengatakan bahwa inteligensi adalah seluruh kemungkinan koordinasi yang memberi struktur kepada tingkah laku suatu organisme sebagai adaptasi mental terhadap situsi baru. Dalam arti sempit, inteligensi operasional, termasuk pula tahapan-tahapan yang sejak dari periode sensorimotoris sampai dengan operasional formal.

2. Tahapan Perkembangan Intelek/ Kognitif
Jean Piaget(Bybee dan Sund, 1982) membagi perkembangan intelek/ kognitif menjadi empat tahapan sebagai berikut.
a. Tahap Sensoris - Motoris
Tahap ini dialami pada usia 0-2 tahun. Pada anak berada dalam suatu masa pertumbuhan yang ditandai oleh kecenderungan-kecenderungan sensori-motoris yang sangat jelas. Segala perbuatan merupakan perwujudan dari proses pematangan aspek sensori-motoris tersebut.
Menurut Piaget (Bybee dan Snd, 1982:2), pada tahap ini interaksi anak dengan lingkungannya, termasuk orang tuanya terutama dilakukan melalui parasaan dan otot-ototnya. Interksi ini terutama diarahkan oleh sensasi-sensasi dari lingkungannya. Dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya, temasuk juga dengan orang tuanya, anak mengembangkan kemampuannya untuk mempersepsi, melakukan sentuhan-sentuhan, melakukan berbagai gerakan dan secara perlahan-lahan belajar mengoordinasikan tindakan-tindakannya.

b. Tahap Praoperasional
Tahap ini berlangsung pada usia2-7 tahun. Tahap ini disebut juga tahap intuisi sebab perkembangan kognitifnya memperlihatkan kecenderungan yang ditandai oleh suasana intuitif. Artinya, semua perbuatan rasionalnya tidak di dukung oleh perasaan, kecenderungan alamiah, sika-sikap yang diperoleh dari orang-orang bemakna dan lingkungan sekitarnya.
Pada tahap ini menurut Piaget (Bybee dan Sund, 1982). Anak sangat bersifat egosentris sehingga seringkali mengalami masalah dalam berinteraksi dengan lingkungannya, termasuk dengan orang tuanya. Dalam berinteraksi dengan orang lain, anak cenderung sulit untuk dapat memahami pandangan orang lain dan lebih banyak mengutamakan pandangannya sendiri. Dalam berinteraksia dengan lingkungannya, ia masih sulit untuk membaca kesempatan atau kemungkinan karena masih punya anggapan bahwa hanya ada satu kebenaran atau peristiwa dalam setiap situasi.
Pada tahap ini, anak tidak selalu ditentukan oleh pengamatan indrawi saja, tetapi juga pada intuisi. Anak mampu menyimpan kata-kata serta serta menggunakanya, terutama yang berhubungan erat dengan kebutuhan mereka. Pada masa ini anak siap untuk belajar bahasa, membaca dan menyanyi. Ketika kita menggunakan bahasa yang benar untuk berbicara kepada anak, akan mempunyaim akibat sangat baik pada perkembangan bahasa mereka. Cara belajar yang memegang peran padatahap ini adalah intuisi. Intuisi membebaskan mereka dari berbicara semaunya tanpa menghiraukan pengalaman konkret dan paksaan dari luar. Sering kali kita lihat anak berbicara sendiri pada benda-benda yang ada di sekitarnya., misalnya pohon, anjing, kucing dan sebagainya, yang menurut mereka benda-benda tersebut mendengar dan berbicara. Peristiwa semacam ini baik untuk melatih diri anak menggunakan kekayaan bahasanya. Piaget menyebut tahap ini sebagai collective monologue, pembicaraan yang egosentris dan sedikit hubungan dengan orang lain.

c. Tahap Operarasional Kongkret
Tahap ini berlangsung antara usia 7-11 tahun. Pada tahap ini, anak mulai menyesuaikan diri dengan realitas konkret dan sudah mulai berkembang rasa ingin tahunya. Pada tahap ini, menurut Piaget (Bybee an Sund, 1982), interaksinya dengan lingkungan, termasuk dengan orang tuanya, sudah makin berkembang dengan baik karena egosentrisnya sudah semakin berkurang. Anak sudah dapat mengamati, menimbang, mengevaluasi dan menjelaskan pikiran-pkiran orang lain dalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih objektif.
Pada tahap ini anak juga memiliki hubungan fungsional karena mereka sudah menguji coba suatu permasalahan. Cara berfikir anak yang masih bersifat konkret menyebabkan mereka belum mampu menangkap yang abstrak atau melakukan abstraksi tentang sesuatu yang konkret. Di sini sering terjadi kesulitan antara orang tua dan guru. Misalnya, orang tua ingin menolong anak mengerjakan pekerjaan rumah, tapi cara yang berbeda dengan cara yang dipakai oleh guru sehingga anak tidak setuju. Sementara sering sekali anak lebih percaya terhadap apa yang dikatakan oleh gurunya ketimbang orang tuanya. Akibatnya, kedua cara tersebut baik yang diberikan oleh guru maupun orang tuanya sama-sama tidak dimengerti oleh anak.

d. Tahap Operasional Formal
Tahap ini dialami oleh anak pada usia 11 tahun ke atas. Pada masa ini, anak telah mampu mewujudkan suatu keseluruhan pada pekerjaannya yang merupakan hasil dari berfikir logis. Aspek perasaan dan moralnya juga telah berkembang sehingga dapat mendukung penyelesaian tugas-tugasnya.
Pada tahap ini, menurut Piaget (Bybeeand Sund, 1982), interaksi dengan lingkungan sudah amat luas, menjangkau banyak teman sebayanya dan bahkan berusaha untuk dapat berinteraksia dengan orang dewasa. Kondisi seperti ini tidak jarang menimbulkan masalah dalam interaksinya dengan orang tua. Namun, sebenarnya secara diam-diam mereka juga masih mengarapkan perlindungan dari orang tua karena belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Jadi, pada tahap ini ada semacam tarik-menarik antara ingin bebas dengan ingin dilindungi.
Karena pada tahap ini anak sudah mulai mampu mengembangkan pikiran formalnya, mereka juga mulai mampu mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan abstraksi. Arti simbolik dan kiasan dapat mereka mengerti. Melibatkan mereka dalam suatu kegiatan akan lebih memberi akibat yang positif bagi perkembangan kognitifnya. Misalnya, menulis puisi, lomba karya ilmiah, lomba menulis cerpen dan sejenisnya.

3. Hubungan Intelek dengan Tingkah laku
Inteligensi menurut Piaget merupakan pernyataan dari tingkah laku adaptif yang terarah kepada kontak dengan lingkungan dan kepada penyusunan pemikiran (Bybee and Sund, 1982). Piaget memposisikan subjeksebagai pihak yang aktif dalam interaksi adaptif antara organisme atau terjadi hubungan dialektis antara organisme dan linkungannya. Apa yang dikatakan oleh Piaget ini kenyataannya memang benar, sebab ornisme tidak pernah terpisah dari lingkungannya dan juga tidak semacam penerima yang pasif. Interaksi antara organisme dengan lingkungannya lebih bersifat interaksi timbal balik. Hanya dalam bentuk interaksinya juga,setiap perubahan tingkah laku adalah merupakan hasil dialektis pengaruh timbal balik antara organisme dan lingkungannya. Karena pandangan yang demikian itu, teori Piaget tenteng intelegensi atau kognitif disebut juga dengan teori interaksionis (interactionism theory) (Bybee dan Sund, 1982).

Piaget memiliki pandangan dasar bahwa setiap organisme memiliki kecenderungan inheren untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Inteligensi sebagai bentuk khusus dari penyesuaian organisme baru dapat diketahui berkat dua proses yang saling mengisi, yaitu yang disebut dengan istilah asimilasi dan akomodasi. Organisme sebagai sutu system dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan karena kemampuan mengakomodasi unsur kognitifnya sedemikian rupa sehingga objek yang baru itu dapat ditangkap dan dipahami secara memadai. Asimilasi adalah suatu proses individu memasukkan dan menggabungkan pengalaman-pengalaman dengan stuktur psikologis yang telah ada pada diri individu. Struktur psikologis dalam diri individu ini disebut dengan istilah skema yang berarti kerangka mental individu yang digunakan untuk menafsifkan segala sesuatu yang dilihat dan didengarnya. Skema mampu menyusun pengamatan-pengamatan dan tingkah laku sehingga terjadilah suatu rangkaian fisik dan mental untuk dapat memahami lingkungannya.

Sangat boleh jadi dalam perkembangan selama kurun waktu tertentu berbagai pengalaman baru tidak sesuai lagi dengan struktur psikologis dalam diri individu dan tidak dapat diasimilasikan ke dalam skema-skema yang telah ada. Oleh sebab itu, skema harus diubah, diperluas dan disesuaikan dengan fakta-fakta yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman baru. Proses penyesuaian skema dengan fakta-fakta yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman baru ini dikenal dengan istilah akomodasi. Dengan demikian, proses asimilasi dan akomodasi merupakan dua proses yang berlawanan. Jika dalam asimilasi proses yang terjadi adalah menyesuaikan pengalaman-pengalaman baru yang diperolehnya dengan struktur skema yang ada dalam diri individu, sedangkan akomodasi merupakan proses penyesuain skema dalam diri individu dengan fakta-fakta baru yang diperoleh melalui pengalaman dari lingkungannya.

4. KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN INTELEK/ KOGNITIF
Sebagaimana telah didiskusikan di atas, Piaget membangi empat tahapan perkembangan intelektual/ kognitif, yaitu (1) tahap sensori motoris, (2) tahap praoperasional, (3) tahap operasional konkret dan (4) tahap operasional formal. Setiap tahapan memiliki karakteristik tersendiri sebagai perwujudan kemampuan intelek individu sesuai dengan tahap perkembangannya.
Adapun karakteristik setiap tahapan perkembangan intelek tersebut adalah sebagai berikut :

a. Karakteristik Tahap Sensori-Motoris
Tahap sensori-motoris ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai berikut :
a. Segala tindakannya masih bersifat naluriah
b. Aktivitas pengalaman didasarkan terutama pada pengalaman indra
c. Individu baru mampu melihat dan meresapi pengalaman, tetapi belum mampu untuk mengategorikan pengalaman
d. Individu mulai belajar menangani objek-objek konkret melalui skema-skema sensori-motorisnya.

b. Karakteristik Tahap Praoperasional
Tahap praoperasional ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai berikut :
a) Individu telah mengkombinasikan dan mentrasformasikan berbagai informasi
b) Individu telah mampu mengemukakan alasan-alasan dalam menyatakan ide-ide
c) Individu telah mengerti adanya hubungan sebab akibat dalam suatu peristiwa konkret, meskipun logika hubungan sebab akibat belum tepat
d) Cara berpikir individu bersifat egosentris ditandai oleh tingkah laku :
1) berpikir imajinatif
2) berbahasa egosentris
3) memiliki aku yang tinggi
4) menampakkan dorongan ingin tahu yang tinggi dan
5) perkembangan bahasa mulai pesat.

c. Karakteristik Tahap Operasional Konkret
Tahap operasional konkret ditandai dengan karakteristik menonjol bahwa segala sesuatu dipahami sebagaimana yang tampak saja atau sebagaimana kenyataan yang mereka alami. Jadi, cara berpikir individu belum menangkap yang abstrak meskipun cara berpikirnya sudah tampak sistematis dan logis. Dalam memahami konsep, individu sangat terikat kepada proses mengalami sendiri. Artinya, mudah memahami konsep kalau pengertian konsep itu dapat diamati atau melakukan sesuatu yang berkaitan dengan konsep tersebut.

d. Karakteristik Tahap Operasional Formal
Tahap operasional formal ditandai dengan karakteristik menonjol sebagai berikut :
a) Individu dapat mencapai logika dan rasio serta dapat menggunakan abstraksi
b) Individu mulai mampu berpikir logis dengan objek-objek yang abstrak
c) Individu mulai mampu memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat hipotesis
d) Individu bahkan mulai mampu membuat perkiraan (forecasting) di masa depan
e) Individu mulai mampu untuk mengintrospeksi diri sendiri sehingga kesadaran diri sendiri tercapai
f) Individu mulai mampu membayangkan peranan-peranan yang akan diperankan sebagai orang dewasa
g) Individu mulai mampu untuk menyadari diri mempertahankan kepentingan masyarakat di lingkungannya dan seseorang dalam masyarakat tersebut.


5. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERKEMBANGAN INTELEK KOGNITIF
1. Faktor Hereditas
Semenjak dalam kandungan, anak telah memiliki sifat-sifat yang menentukan daya kerja intelektualnya. Secara potensial anak telah membawa kemungkinan apakah akan menjadi kemampuan berfikir setara normal, di atas normal atau di bawah normal. Namun, potensi ini tidak akan berkembang atau terwujud secara optimal apabila lingkungan tidak memberi kesempatan untuk berkembang. Oleh karena itu, peranan lingkungan sangat menentukan perkembangan intelektual anak.

2. Faktor Lingkungan
Ada dua unsur lingkungan yang sangat penting peranannya dalam memengaruhi perkembangan intelek anak, yaitu keluarga dan sekolah.
a. Keluarga
Intervensi yang paling penting dilakukan oleh keluarga atau orang tua adalah memberikan pengalaman kepada anak dalam berbagai bidang kehidupan sehingga anak memiliki informasi yang banyak yang merupakan alat bagi anak untuk berpikir. Cara-cara yang digunakan, misalnya memberi kesempatan kepada anak untuk merealisasikan ide-idenya, menghargai ide-ide tersebut, memuaskan dorongan keingintahuan anak dengan jalan seperti menyediakan bacaan, alat-alat keterampilan, dan alat-alat yang dapat mengembangkan daya kreativitas anak. Memberi kesempatan atau pengalaman tersebut akan menuntut perhatian orangtua.

b. Sekolah
Sekolah adalah lembaga formal yang diberi tanggungjawab untuk meningkatkan perkembangan anak tersebut perkembangan berpikir anak. Dalam hal ini, guru hendaknya menyadari bahwa perkembangan intelektual anak terletak di tangannya. Beberapa cara diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Menciptakan interaksi atau hubungan yang akrab dengan peserta didik.
Dengan hubungan yang akrab tersebut, secara psikologis peserta didik akan merasa aman sehingga segala masalah yang dialaminya secara bebas dapat dikonsultasikan dengan guru mereka.
2) Memberi kesempatan kepada para peserta didik untuk berdialog dengan orang-orang yang ahli dan pengalaman dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, sangat menunjang perkembangan intelektual anak. Membawa para peserta didik ke objek-objek tertentu, seperti objek budaya dan ilmu pengetahuan, sangat menunjang perkembangan intelektual peserta didik.
3) Menjaga dan meningkatkan pertumbuhan fisik anak, baik melalui kegiatan olahraga maupun menyediakan gizi yang cukup, sangat penting bagi perkembangan berpikir peserta didik. Sebab jika peserta didik terganggung secara fisik, perkembangan intelektualnya juga akan terganggung
4) Meningkatkan kemampuan berbahasa peserta didik, baik melalui media cetak maupun dengan menyediakan situasi yang memungkinkan para peserta didik berpendapat atau mengemukakan ide-idenya. Hal ini sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan intelektual peserta didik.

6. PERBEDAAN INDIVIDUAL DALAM PERKEMBANGAN INTELEK / KOGNITIF
Secara hereditas, individu memiliki potensi yang dapat menyebabkan perbedaan dalam perkembangan berpikir mereka. Berkembang atau tidaknya potensi tersebut tergantung pada lingkungan. Ini berarti bahwa apakah anak akan mempunyai kemampuan berpikir normal, di atas normal atau di bawah normal sangat tergantung pada lingkungan.
Manusia memiliki perbedaan satu sama lain dalam berbagai aspek, antara lain dalam bakat, minat, kepribadian, keadaan jasmani, keadaan sosial dan juga inteligensinya. Perbedaan itu akan tampak jika diamati dalam proses belajar mengajar di dalam kelas. Ada peserta didik yang cepat, ada yang lambat dan ada pula yang sedang dalam penguasaan materi pelajaran. Ada siswa yang tingkah lakunya baik dan ada pula siswa yang kurang baik.
Perbedaan individu dalam perkembangan intelek menunjuk kepada perbedaan dalam kemampuan dan kecepatan belajar. Perbedaan-perbedaan individual peserta didik akan tercermin pada sifat-sifat atau ciri-ciri mereka dalam kemampuan, keterampilan, sikap dan kebiasaan belajar, serta kualitas proses dan hasil belajar baik dari segi ranah kognitif, afektif dan psikomotor.

8. MEMBANTU PERKEMBANGAN INTELEK DAN IMPLIKASINYABAGI PENDIDIKAN
Kondisi psikologis yang perlu diciptakan agar peserta didik merasa aman secara psikologis sehingga mampu mengembangkan kemampuan intelektualnya adalah sebagai berikut :
1. Pendidik menerima peserta didik secara positif sebagaimana adanya tanpa syarat (unconditional positive regard). Artinya, apapun keberadaan peserta didik dengan segala kekuatan dan kelemahannya harus diterima dengan baik, serta memberi kepercayaan padanya bahwa pada dasarnya setiap peserta didik memiliki kemampuan intelektual yang dikembangkan secara maksimal.
2. Pendidik menciptakan suasana dimana peserta didik tidak merasa terlalu dinilai oleh orang lain. Memberi penilaian terhadap peserta didik dengan berlebihan dapat dirasakan sebagai ancaman sehingga menimbulkan kebutuhan pertahanan diri. Memang kenyataannya, pemberian penilaian tidak dapat dihindarkan dalam situasi sekolah, tetapi paling tidak harus diupayakan agar penilaian tidak mencemaskan peserta didik, melainkan menjadi sarana yang dapat mengembangkan sikap kompetitif secara sehat.
3. Pendidik memberikan pengertian dalam arti dapat memahami pemikiran, perasaan dan perilaku peserta didik, dapat menempatkan diri dalam situasi peserta didik, serta melihat sesuatu dari sudut pandang mereka (empathy). Dalam suasana seperti ini, peserta didik akan merasa aman untuk mengembangkan dan mengemukakan pemikiran atau ide-idenya.
4. Menerima remaja secara positif sebagaimana adanya tanpa syarat (unconditional positive regard). Artinya, apapun adanya remaja itu dengan segala kekuatan dan kelemahannya harus diterima dengan baik, serta memberi kepercayaan bahwa pada dasarnya setiap remaja memiliki kemampuan intelektual yang dapat dikembangkan secara maksimal.
5. Memahami pemikiran, perasaan dan perilaku remaja, menempatkan diri dalam situasi remaja, serta melihat sesuatu dari sudut pandang mereka (empathy). Dalam suasana seperti ini remaja akan merasa aman untuk mengembangkan dan mengemukakan pemikiran atau ide-idenya.
6. Memberikan suasanan psikologis yang aman bagi remaja untuk mengemukakan pikiran-pikirannya sehingga terbiasa berani mengembangkan pemikirannya sendiri. Disini berusaha menciptakan keterbukaan (opennes), kehangatan (warmness), dan kekonkretan (concereteness).


Daftar Pustaka:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Dikti HEDS-JICA. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Tim Pembina Mata Kuliah Perkembangan PesertaDidik, 2007.

Asrori, Muhammad. 2015. Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta: Media Akademi.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sentralisasi dan Desentralisasi Pendidikan, dan Manajemen Berbasis Sekolah

Intensitas Cahaya

KONSEP DASAR FILSAFAT PENDIDIKAN